Views

Hari Kebangkitan Nasional

Oleh: Andi Suwirta

Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung. Emel: atriwusidna@gmail.com

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) diperingati setiap tanggal 20 Mei di Indonesia. Harkitnas merujuk pada kelahiran BU (Budi Utomo), salah satu organisasi modern yang didirikan pada 1908, yang mencita-citakan kemajuan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pada awal abad ke-20 Masehi. Namun, Harkitnas baru diperingati setelah 40 tahun peristiwanya berlalu, yakni pada 20 Mei 1948. Mengapa demikian?

Tahun 1948 adalah periode krisis pada masa revolusi Indonesia. PM (Perdana Menteri) Mohamad Hatta tengah menghadapi oposisi yang kuat dari kubu FDR (Front Demokrasi Rakyat), yang kemudian berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), di bawah pimpinan Muso dan Amir Syarifudin. Untuk meredakan ketegangan politik, diadakanlah agenda untuk rekonsiliasi nasional, dengan cara melakukan upacara bersama dan mengusung tema “Hari Kebangkitan Nasional”.

Masalahnya, peristiwa sejarah apakah yang layak untuk diperingati sebagai Harkitnas? Golongan oposisi menghendaki hari kelahiran PKI diperingati sebagai Harkitnas. Golongan Islam tentu saja menolak dan menyatakan bahwa hari kelahiran SI (Sarekat Islam) atau SDI (Sarekat Dagang Islam) lebih layak diperingati. Pihak pemerintah sendiri menghendaki agar hari kelahiran PNI (Partai Nasional Indonesia) diperingati sebagai Harkitnas.

Karena tidak ada titik temu, pihak-pihak yang bersengketa pada masa revolusi Indonesia sepakat untuk menjadikan hari kelahiran BU, sebagai organisasi moderat, apolitis, serta bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, sebagai Harkitnas: sebuah upacara bersama untuk rekonsiliasi antara pihak pemerintah RI – yang didukung golongan Nasionalis dan Islam moderat – di satu sisi; dengan golongan Komunis dan Sosialis radikal di sisi lain.

Peringatan Harkitnas pertama kali, pada 20 Mei 1948, dilaksanakan di Yogyakarta, sebagai ibukota baru pada masa revolusi Indonesia. Pihak-pihak yang bertikai hadir dalam upacara tersebut, termasuk Muso sebagai Ketua PKI. Presiden Sukarno kemudian berpesan kepada Muso, teman lamanya semasa masih muda di Surabaya, agar ikut membantu jalannya revolusi Indonesia. Muso kemudian menjawab dalam Bahasa Belanda, dengan tegas dan sarat makna, “Ik kom hier om orde te scheppen” (Saya datang ke sini untuk membereskan semuanya).

Peringatan Harkitnas pada 20 Mei 1948 nampaknya gagal dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Pihak PKI sendiri kemudian melakukan kudeta di Madiun pada 18 September 1948 dan ditumpas oleh pemerintah RI, terutama tentara Siliwangi dari Jawa Barat, yang telah hijrah ke Yogyakarta dan Surakarta pada awal 1948. Tentara Siliwangi, disingkat SLW, memang sering diejek dan dihina oleh PKI sebagai Stoot Leger Wilhelmina atau Tukang Pukul Ratu Belanda, karena para perwira tentara SLW – seperti Abdul Haris Nasution, Hidayat, Daan Yahya, Sadikin, dan sebagainya – sering berkomunikasi diantara mereka dalam Bahasa Belanda.  

Refleksi Kekinian

Harkitnas pada 20 Mei 2023 kali ini, saya kira, tetap relevan untuk dimaknai, difahami, dan dilaksanakan dengan benar. Tujuan Harkitnas, pada awalnya, adalah moment untuk rekonsiliasi nasional. Pihak-pihak yang berseteru agar bersatu dan berdamai, serta bersama-sama membangun bangsa agar terjadi “kebangkitan nasional”. Dengan perkataan lain, Harkitnas adalah solusi bijak agar bangsa Indonesia keluar dari krisis politik secara nasional.

Indonesia di era Reformasi sekarang pun masih didera oleh krisis nasional di segala bidang. Lebih-lebih setelah Pilpres (Pemilihan Presiden) secara langsung, khususnya sejak 2014 hingga sekarang, bangsa Indonesia terbelah secara politik dengan adanya kubu Cebong (pendukung Presiden Jokowi) dan kubu Kampret atau Kadrun (Kadal Gurun). Sebutan terakhir berkonotasi kepada gerakan Islam radikal di Indonesia, yang menghendaki tegaknya sistem kekhalifahan atau tata-kelola pemerintahan yang lebih Islami di Indonesia.

Pemerintah sekarang, dan yang akan datang, harus mengambil inisiatif, punya kemauan politik baik, dan memberi makna baru dalam melaksanakan Harkitnas. Ribut-ribut politik dan kegaduhan nasional diantara dua kubu (Cebong yang pro pemerintah dan Kadrun yang anti pemerintah), sebenarnya bermula dari kurangnya kesadaran sejarah. Presiden Sukarno pada 1948 sudah menyatakan bahwa salah satu manfaat mempelajari sejarah agar kita dapat menemukan hukum-hukum dan pola-pola dalam memahami peristiwa sejarah, sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar, maju, dan sejahtera.

Pendidikan, sebagaimana ditekankan oleh organisasi BU dengan menganjurkan Studie Fonds (Beasiswa), adalah alat ampuh untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam makna yang sebenar. Pemerintah sekarang, dan yang akan datang, sudah seharusnya kembali ke semangat dan tujuan utama didirikannya BU, sebagai mencusuar bagi kebangkitan nasional, yakni menekankan bidang pendidikan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Anak-anak bangsa yang cemerlang, cerdas, dan bertalenta – tidak peduli dari kubu Cebong atau Kadrun – harus diberi Studie Fonds untuk belajar ke luar negeri, khususnya dalam bidang sains, teknologi, dan informasi terkini. Setelah lulus, jangan biarkan mereka berdiaspora, tapi dipanggil pulang untuk berbakti kepada Ibu Pertiwi, agar bangsa ini maju, sejahtera, mandiri, dan berdaulat di segala bidang kehidupan. Mereka akan bersinergi dalam mengelola, mengolah, dan memanfaatkan SDA (Sumber Daya Alam) yang kaya di Indonesia. Mereka tidak akan menjadi komprador, yang hanya bisa menjual dan menyewakan SDA kepada pihak Asing dan Aseng untuk mendapatkan rente, memperkaya diri, kroni, dan oligarki diantara lingkaran politik mereka sendiri.

Cita-cita untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang bermuara pada “memajukan kesejahteraan umum” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sesungguhnya sudah termaktub dalam Pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945. Dalam rangka Harkitnas di Indonesia, pemerintah diingatkan kembali untuk melaksanakan cita-cita itu dengan cara yang saksama dan dalam kadar yang segera. [AS]